BREAKING NEWS


 

Menulis: Ikhtiar Menuju Keabadian Gagasan


Dalam perjalanan sejarah manusia, ada satu tindakan yang tampak sederhana namun menyimpan daya ledak peradaban: menulis. Menulis bukan sekadar menyusun kata-kata di atas kertas atau layar digital, tetapi sebuah ikhtiar manusia untuk menantang kefanaan. Tubuh menua, teknologi usang, bahkan kenangan perlahan memudar. Namun tulisan? Ia memiliki peluang langka untuk melampaui batas generasi.


Menulis pada hakikatnya adalah cara manusia berbicara kepada masa depan. Saat seseorang menulis, ia tidak hanya berdialog dengan zamannya, tetapi juga dengan mereka yang belum lahir. Berbeda dengan komunikasi lisan yang mudah hilang dan disalahpahami, tulisan mampu bertahan jauh lebih lama dari usia penulisnya sendiri—menyimpan gagasan, nilai, dan kesadaran zaman.


Apakah Tulisan Bisa Benar-Benar Abadi?


Secara fisik, tidak ada tulisan yang benar-benar abadi. Batu bisa hancur, kertas bisa terbakar, dan data digital bisa terhapus. Namun, keabadian tulisan tidak terletak pada medianya, melainkan pada kekuatan ide yang dikandungnya. Sebuah catatan harian yang jujur dan reflektif bisa menjadi warisan pemikiran berharga.


Ambil contoh surat-surat R.A. Kartini. Ia tidak menulis buku besar. Ia hanya menulis surat kepada sahabatnya, mengungkap keresahan, ketidakadilan, dan harapannya bagi masa depan bangsanya. Namun justru karena kejujuran dan keberaniannya untuk berpikir melampaui batas zaman, surat-surat itu kini hidup jauh melampaui usianya.


Menulis Tak Harus Menjadi Hebat, Tapi Harus Jujur.

Menulis untuk keabadian tidak mensyaratkan seseorang menjadi sastrawan besar, filsuf ternama, atau penulis dengan gaya tinggi. Keabadian tulisan lebih ditentukan oleh ketulusan dan kedalaman gagasan. Tulisan yang bertahan lahir bukan dari ambisi pribadi, melainkan dari integritas intelektual dan kegelisahan eksistensial. Ia bukan untuk menyenangkan pembaca hari ini, melainkan untuk menjangkau pembaca masa depan yang mungkin menghadapi kegelisahan serupa.

Ironisnya, kita hidup di era yang justru menghargai yang sebaliknya. Tulisan-tulisan pendek, dangkal, dan sensasional lebih digemari karena mengikuti irama algoritma dan pasar digital. Maka, menulis dengan niat untuk keabadian hari ini bukan hanya sulit—tetapi juga bentuk perlawanan terhadap arus.


Menulis adalah Tindakan Etis


Menulis untuk keabadian adalah tindakan etis sekaligus tanggung jawab intelektual. Ia menuntut ketekunan, kesabaran, dan keberanian untuk tidak tunduk pada selera sesaat. Kesadaran bahwa tulisan hari ini bisa memengaruhi cara berpikir seseorang di masa depan adalah bentuk tanggung jawab yang seharusnya menyertai setiap kata yang kita tulis.

Sebagian orang mungkin bertanya, apa gunanya menulis jika belum tentu ada yang membaca—apalagi mengingat? Namun sejarah mencatat bahwa banyak tulisan penting baru menemukan pembacanya puluhan, bahkan ratusan tahun setelah ditulis. Dalam sejarah pemikiran, keterlambatan bukan kegagalan—melainkan bagian dari proses.


Warisan Tak Kasatmata


Menulis untuk keabadian bukan soal memastikan tulisan itu abadi, tetapi tentang menulis dengan kesadaran bahwa ia bisa abadi. Menulis berarti menanam kemungkinan: bahwa suatu saat nanti, gagasan yang kita tuangkan hari ini bisa menggugah seseorang, di waktu dan tempat yang tak kita kenal.

Dan mungkin, di situlah makna terdalamnya: bukan untuk dikenang dalam bentuk patung atau nama jalan, melainkan lewat gagasan yang terus bergema. Dalam kalimat-kalimat yang tidak hanya dibaca, tetapi direnungkan.

Tulisan ini ditutup dengan satu kalimat reflektif: "Keabadian dalam menulis bukanlah janji yang bisa ditepati, melainkan kemungkinan yang bisa diperjuangkan. 

Ia bukan warisan yang pasti, tetapi warisan yang mungkin—dan kemungkinan itulah yang membuat menulis tetap relevan, mendalam, dan pada akhirnya, bermakna."

Oleh: Riswan Wadi, S.Sos. (Aktivis Sosial)


Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar