Bahasa Gebe di Ambang Kepunahan: Warisan Leluhur yang Kian Terlupakan
Oleh. Abdulbar Mudi
Bahasa adalah jantung kebudayaan — bukan sekadar alat komunikasi, melainkan wadah nilai, kultur, dan sejarah hidup bersama yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun di Pulau Gebe, denyut itu kini melemah.
Anak-anak muda lebih sering berbahasa Indonesia atau Melayu Maluku Utara, sementara bahasa Gebe hanya tersisa di percakapan orang tua di rumah-rumah panggung yang mulai sunyi.
Perubahan ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya membawa dampak besar: hilangnya bahasa berarti hilangnya cara pandang dan jati diri budaya.
Filosofi Hidup dalam Bahasa Gebe
Bagi masyarakat Gebe, bahasa bukan sekadar bunyi. Ia adalah wadah moral, etika, dan kearifan lokal yang tertanam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa Gebe terkandung nilai-nilai luhur yang disebut “Faknon, Faraman, Fatdel, dan Fasboso.”
Keempatnya menggambarkan falsafah hidup orang Gebe yang memandang masyarakat sebagai satu tubuh:
Faknon mengajarkan kesetaraan dan persaudaraan; bahwa sesama saudara tak boleh saling membeda-bedakan.
Faraman menanamkan kehangatan dan kekuatan ikatan keluarga — lebih kuat dari baja, lebih hangat dari bara.
Fatdel menumbuhkan rasa memiliki; luka satu adalah luka bersama.
Fasboso mengingatkan agar setiap orang menjaga warisan leluhur dengan hormat dan kasih, bukan dengan keserakahan.
Nilai-nilai ini menjadi napas kehidupan sosial orang Gebe. Namun, seiring memudarnya penggunaan bahasa daerah, nilai luhur tersebut ikut tergerus.
Modernisasi dan Hilangnya Identitas
Generasi muda di Pulau Gebe kini cenderung memandang bahasa nenek moyang mereka sebagai hal kuno, bahkan bahan candaan. Bahasa Gebe tak lagi menjadi alat komunikasi utama, melainkan sekadar peninggalan masa lalu yang hanya digunakan pada acara adat.
Fenomena ini tak lepas dari perubahan sosial dan ekonomi di pulau tersebut. Berkembangnya sektor pertambangan membawa banyak pendatang dari berbagai daerah.
Pulau kecil yang dulunya homogen kini menjadi multietnis dengan ragam bahasa. Untuk mempermudah komunikasi, masyarakat lebih memilih Bahasa Indonesia atau Melayu Maluku Utara. Namun, pilihan itu perlahan mengikis fungsi bahasa lokal sebagai perekat identitas kultural masyarakat Gebe.
Bahasa Sebagai Penjaga Warisan dan Martabat
Bahasa daerah adalah simbol kebanggaan dan lambang identitas. Melalui bahasa, nilai budaya, cerita rakyat, dan pengetahuan lokal diwariskan. Dalam bahasa tersimpan jejak sejarah, cara mencinta, hingga cara memahami alam. Jika bahasa hilang, maka
seluruh pandangan hidup masyarakat pun ikut sirna.
Karena itu, masyarakat Pulau Gebe perlu menyadari bahwa menjaga bahasa berarti menjaga martabat dan sejarah mereka sendiri. Setiap kali seseorang menuturkan bahasa Gebe, ia sejatinya sedang melanjutkan tradisi panjang yang diwariskan para leluhur.
Namun di era modern, kesadaran itu makin pudar. Banyak anak muda lebih bangga meniru logat luar ketimbang berbahasa Gebe. Tanpa disadari, sikap itu perlahan memutus hubungan mereka dengan akar budaya sendiri.
Revitalisasi Bahasa Gebe
Menjaga Bahasa, Menjaga Pulau
Bahasa Gebe harus hidup di setiap rumah, di setiap tawa anak-anak, dan di setiap kisah yang dituturkan malam hari. Sebab di sanalah tersimpan ingatan, kasih, dan kebanggaan sebagai anak pulau.
Tim redaksi Mandiolinews



