Akademisi UNAS Nilai Kriminalisasi Warga Maba Sangaji sebagai Kekerasan Struktural atas Nama Pembangunan
Jakarta, 17 Juni 2025 – Akademisi Universitas Nasional (UNAS), Mochdar Solemat, menilai kriminalisasi terhadap 11 warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, sebagai bentuk kekerasan struktural yang dibungkus dengan narasi pembangunan.
Hal ini disampaikannya menyikapi putusan praperadilan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Soasio pada Senin (16/6).
“Ini bukan semata konflik agraria, tetapi soal kedaulatan atas lingkungan hidup dan hak masyarakat adat. Kriminalisasi terhadap warga merupakan bentuk kekerasan struktural yang dilegalkan oleh negara melalui aparatus hukumnya,” ujar Mochdar, yang juga
dikenal sebagai pengamat politik lingkungan.
Ia menyebut bahwa dalam sistem demokrasi yang sehat, negara seharusnya menciptakan ruang bagi masyarakat lokal untuk mempertahankan wilayah adat mereka.
Namun, dalam kasus ini, kebijakan negara justru dinilai lebih berpihak pada korporasi, seperti PT. Position, yang dituding menyerobot tanah adat warga Sangaji.
“Ketika negara tunduk pada kepentingan korporasi, maka ruang partisipasi publik tertutup. Warga justru diposisikan sebagai ancaman,” katanya.
Menurut Mochdar, meski gugatan praperadilan dikabulkan, stigma sebagai pelaku kriminal akan terus melekat pada warga.
Hal ini diperparah dengan penggunaan pasal-pasal darurat seperti tuduhan pemerasan, membawa senjata tajam, hingga menghalangi investasi—padahal, mereka hanya mempertahankan ruang hidupnya.
Kasus ini mencuat setelah warga Maba Sangaji menuntut ganti rugi atas dugaan perampasan lahan oleh perusahaan tambang. Namun, tuntutan itu berujung pada penetapan 11 orang sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum.
Mochdar menambahkan, situasi ini mencerminkan apa yang disebut sebagai praktik “psikologi terbalik” dalam kebijakan negara, di mana warga yang mempertahankan tanah leluhur dianggap sebagai ancaman, sementara korporasi yang diduga merampas lahan justru mendapat perlindungan.
“Mengacu pada pemikiran Bryant dan Bailey, lingkungan hidup adalah arena konflik antara negara, kapital, dan komunitas lokal. Sayangnya, negara lebih sering bertindak sebagai agen kepentingan ekstraktif,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa warga adat seperti di Maba Sangaji memang tidak memiliki kekuatan hukum formal atas tanah adat, tetapi memiliki legitimasi sosial dan ekologis yang kuat. Sayangnya, legitimasi itu tidak cukup untuk melindungi mereka dari jerat hukum yang berpihak pada kepentingan modal.
Mochdar juga menyoroti bahwa kasus ini bukan yang pertama. Tren kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang, perkebunan sawit, dan proyek infrastruktur terus terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
“Ini menunjukkan bahwa hukum lingkungan kita belum berpihak pada rakyat dan ekologi. Pendekatan berbasis keadilan ekologis harus segera dikedepankan, bukan sekadar prosedural,” ujarnya.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan pentingnya membangun demokrasi ekologis, bukan hanya demokrasi elektoral. “Perlindungan terhadap masyarakat adat adalah ukuran keberlanjutan yang sesungguhnya,” pungkasnya.