Firman Soebagyo: Pemerintah Lamban Tanggapi Krisis Industri Tekstil Nasional
Jakarta – Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, mengkritik sikap lamban pemerintah dalam merespons kemunduran industri tekstil nasional. Ia menilai pemerintah terkesan menutup mata terhadap krisis yang melanda sektor tersebut, padahal kontribusinya signifikan terhadap perekonomian.
“Mengenai persoalan pertekstilan ini sudah lama kami sampaikan ke pemerintah. Namun, responsnya lamban sehingga mengakibatkan banyak kerusakan dalam industri tekstil nasional,” ujar Firman dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI bersama Ketua Umum DPP IKATSI, Asosiasi Pertekstilan Nasional, APSyFI, dan Asosiasi Pengrajin dan Pengusaha Batik Indonesia di Gedung DPR RI, Selasa (27/5).
Firman menyoroti bahwa industri tekstil pernah menjadi sektor andalan ekspor Indonesia dan memenuhi kebutuhan domestik. Namun, berbagai tantangan yang tak segera diatasi menyebabkan sektor ini semakin terpuruk.
Ia menyebutkan beberapa faktor penyebab kemunduran industri tekstil, antara lain gempuran produk impor murah dan berkualitas, penurunan ekspor akibat lesunya permintaan global, serta maraknya impor ilegal yang merugikan produsen dalam negeri.
“Ini merupakan bentuk pembiaran dari negara. Kebijakan yang ada saat ini justru menyakitkan bagi pelaku industri,” tegasnya.
Meski demikian, Firman mengakui masih ada peluang pertumbuhan, terutama pada sektor tekstil jadi dan alas kaki. Pada triwulan I tahun 2024, industri tekstil mencatat kontribusi sebesar 19,28 persen terhadap pertumbuhan ekonomi.
Namun, ia menekankan perlunya kebijakan impor yang lebih ketat dan berpihak pada produsen dalam negeri. Firman juga mendorong pelaku industri untuk meningkatkan efisiensi melalui adopsi teknologi dan otomatisasi.
“Buruh tidak bisa hanya menuntut kenaikan gaji dan terus-menerus berdemo. Tantangan ke depan bukan hanya ada pada pengusaha, tetapi juga pada buruh yang harus mampu beradaptasi dengan teknologi,” ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana revolusi industri di negara lain, seperti Tiongkok, mengandalkan otomatisasi tinggi, di mana ribuan pekerjaan manusia bisa digantikan oleh sistem berbasis teknologi.
Selain itu, Firman mendorong pengembangan produk tekstil yang memiliki nilai tambah melalui riset dan desain berbasis komputer. Ia juga menyoroti pentingnya perlindungan terhadap warisan budaya seperti batik.
“Negara wajib hadir untuk mematenkan seluruh motif batik nasional agar tidak ditiru oleh negara lain. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton dan pencatat sejarah,” katanya.
Terkait bahan baku, Firman menyayangkan tidak adanya keberpihakan pemerintah pada hasil riset akademik dari universitas, yang sejatinya mampu menyediakan alternatif bahan baku tekstil di tengah ketiadaan kapas di Indonesia.
“Selama ini, hasil riset yang sangat bagus tidak pernah diaplikasikan karena di tengah-tengahnya ada importir yang menikmati monopoli bahan baku,” pungkasnya.
Tim Mandiolinews