Hari Buruh dalam Perspektif Karl Marx: Menggugat Ketimpangan Relasi Produksi
Oleh: Riswan Wadi Mahasiswa Magister Ilmu Politik, Universitas Nasional
Setiap tanggal 1 Mei, masyarakat Indonesia bersama berbagai negara di dunia memperingati Hari Buruh.
Lebih dari sekadar seremoni tahunan, momentum ini menjadi ruang reflektif untuk menyoroti posisi dan peran kaum buruh dalam struktur sosial dan ekonomi yang berlaku.
Jika ditelaah melalui pemikiran Karl Marx, Hari Buruh sejatinya adalah ekspresi politik yang mempertanyakan relasi kuasa antara buruh dan pemilik modal.
Dalam karya-karyanya seperti Das Kapital dan Manifesto Komunis, Marx menegaskan bahwa dalam sistem kapitalis, buruh mengalami alienasi—terasing dari hasil kerjanya, proses produksinya, bahkan dari kemanusiaannya sendiri.
Buruh menjual tenaganya sebagai komoditas, namun nilai lebih dari kerja itu dikuasai oleh pemilik modal. Inilah dasar dari ketimpangan dan eksploitasi yang melanggengkan ketidakadilan sosial.
Bagi Marx, buruh bukan sekadar mesin produksi, melainkan kelompok yang mengalami penindasan sistemik. Di sinilah pentingnya memperingati Hari Buruh sebagai momen untuk menyadari bahwa relasi produksi kita saat ini masih jauh dari ideal.
Kerja, yang seharusnya menjadi bentuk ekspresi dan pemenuhan diri manusia, justru berubah menjadi beban hidup di tengah tekanan efisiensi dan tuntutan pasar.
Lebih jauh, Marx menyebut bahwa perubahan sosial hanya mungkin terjadi melalui perjuangan kelas. Dalam konteks kekinian, hal ini berarti pentingnya suara buruh dalam proses pengambilan kebijakan.
Buruh tidak boleh lagi dipinggirkan oleh narasi pembangunan yang hanya berpihak pada kepentingan pemilik modal. Mereka adalah fondasi dari sistem ekonomi, bukan beban yang harus ditekan demi keuntungan.
Memperingati Hari Buruh dengan pendekatan Marxian berarti mendorong lahirnya kesadaran kolektif: bahwa perubahan struktural tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan melalui solidaritas antar kelas pekerja. Ini bukan sekadar tentang menuntut upah layak, tetapi memperjuangkan sistem yang adil dan manusiawi di mana buruh memiliki kontrol atas kerja dan hidupnya.
Akhir kata, Hari Buruh adalah pengingat sekaligus seruan. Ia mengajak kita untuk tidak hanya mengenang sejarah perjuangan kaum buruh, tetapi juga membangun masa depan di mana mereka tidak lagi menjadi roda penggerak yang tak bersuara, melainkan aktor utama dalam menentukan arah pembangunan dan kehidupan.
Sebagaimana diungkapkan Marx, "Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara. Yang penting adalah mengubahnya."