BREAKING NEWS


 

Waisakai Memanggil: Luka di Jantung Mangoli yang Tak Kunjung Sembuh


Oleh: Immawati Susani Umamit

Kader IMM FAPERTA UMMU


Di balik birunya laut dan hijaunya hutan yang memeluk Pulau Mangoli, Maluku Utara, tersimpan sebuah luka yang belum juga sembuh. Di Desa Waisakai, luka itu menganga lebar — menjadi simbol keterlambatan pembangunan dan ketidakpedulian yang seolah terus diwariskan.


Sebagai pusat kecamatan, Waisakai seharusnya berdiri kokoh sebagai wajah kemajuan wilayah. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Desa ini seperti anak tiri yang terlupakan oleh ibu pertiwi — terjebak dalam keterbatasan infrastruktur dan janji pembangunan yang tak kunjung nyata.


Saya masih mengingat jelas masa kecil di Waisakai. Setiap kali menuju sekolah, kami bukan disambut jalan beraspal mulus, melainkan jalur tanah berlumpur yang licin dan berbahaya.


 Ketika hujan turun, jalan itu berubah menjadi kubangan lumpur dalam yang memaksa kami berjalan tanpa alas kaki agar sepatu tidak tenggelam.


Jembatan kayu lapuk menjadi saksi bisu perjuangan kami. Setiap kali melintas, jantung berdegup kencang, takut papan yang rapuh ambruk sewaktu-waktu. Namun, rasa takut itu kami lawan — demi cita-cita, demi masa depan yang kami yakini lebih baik.


Kini, sebagai generasi muda Waisakai, kami sering bertanya dalam hati: apakah desa kami masih dianggap bagian dari Indonesia? Mengapa ketimpangan begitu nyata — sementara saudara-saudara kami di kota menikmati sekolah berfasilitas lengkap, layanan kesehatan yang baik, dan jalan yang mulus?


Luka di jantung Waisakai bukan hanya soal infrastruktur, melainkan luka batin yang dirasakan masyarakatnya. Kami melihat pembangunan berjalan begitu cepat di tempat lain, sementara Waisakai tertinggal, seolah tak tersentuh tangan kebijakan.


Namun, meski diabaikan, semangat kami tak pernah padam. Kami tetap berjuang, tetap berharap, dan tetap percaya bahwa Waisakai punya potensi besar untuk tumbuh menjadi daerah maju dan sejahtera. 


Yang kami butuhkan hanyalah perhatian dan tindakan nyata dari pemerintah — bukan sekadar janji yang diucapkan di masa kampanye.


Waisakai bukan sekadar nama di peta. Ia adalah rumah, tempat kami dilahirkan dan dibesarkan. Ia adalah harapan dan masa depan kami. Kami tidak ingin terus hidup dalam bayang-bayang keterbelakangan. Kami ingin melihat Waisakai bangkit — berdiri sejajar dengan daerah lain yang lebih dulu maju.



Inilah jeritan dari jantung Pulau Mangoli yang terluka. Inilah panggilan dari Desa Waisakai yang mendambakan sentuhan kasih dan pemerataan pembangunan. Kami memohon, semoga luka ini segera disembuhkan melalui kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, bukan sekadar angka-angka di atas kertas.


Sebagai putra-putri Desa Waisakai, kami menaruh harapan besar kepada pemerintah. Jangan hanya melirik dari jauh, tetapi datanglah dan rasakan bagaimana kami berjuang di tengah keterbatasan. Suara kami adalah fondasi bagi tegaknya janji-janji pemerintahan.


Kami yakin, pemerintah memiliki hati dan niat baik untuk mewujudkan kesejahteraan yang merata. Maka dengan penuh harap, kami menyerukan: lihatlah Waisakai, dengarlah jeritannya, dan buktikan bahwa negara benar-benar hadir bagi seluruh rakyatnya — tanpa terkecuali.


Tim redaksi Mandiolinews


Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar