Mandiolinews com Menjelang seratus hari kerja Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Raka Bumi Raka, iklim politik dan kebijakan negara semakin memanas. Mengapa tidak? Kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, serta janji manis yang diucapkan saat kampanye, tampaknya jauh dari harapan setelah mereka dilantik. Pidato yang menggebu-gebu yang disampaikan di atas podium untuk membakar semangat rakyat ternyata tidak sejalan dengan kenyataan.
Mahasiswa, yang jumlahnya ribuan dan mewakili aspirasi rakyat, turun ke jalan di depan Istana Negara untuk menolak kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Dengan tema "Indonesia Gelap," mereka memprotes kebijakan efisiensi anggaran yang dialihkan ke program makan bergizi gratis (MBG) serta kebijakan izin kampus mengelola tambang, kelangkaan gas elpiji, hingga pemotongan anggaran pendidikan dan kesehatan.
Para mahasiswa mendesak Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran untuk meninjau ulang kebijakan efisiensi anggaran, terutama pemangkasan anggaran di sektor pendidikan, kesehatan, serta fasilitas dan pelayanan publik. Mereka berpendapat, makan gratis bergizi hanya mengisi perut yang kosong, sementara fasilitas pendidikan masih terabaikan. Banyak gedung sekolah yang rusak dan kekurangan buku untuk belajar.
Masalah sarana dan prasarana pendidikan, serta rendahnya gaji guru honorer, masih belum teratasi. Anggaran untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang semula bernilai triliunan malah dipangkas. Ini menimbulkan pertanyaan besar terkait komitmen pemerintah dalam memprioritaskan sektor pendidikan.
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) kebingungan mencari dana tambahan, dengan kenaikan biaya kuliah (UKT) sebagai solusi utama. Ironisnya, mahasiswa dan orang tuanya yang menjadi korban, terpaksa berjuang keras untuk membayar kuliah. Padahal, sebelumnya pemerintah berjanji tidak akan ada kenaikan biaya kuliah, namun janji tersebut tidak terealisasi.
Biaya UKT, pajak, dan harga gas LPG terus meroket, sementara praktek korupsi juga semakin marak. Pemerintah berjanji akan menindak pelaku korupsi, namun nyatanya itu hanya omongan kosong belaka.
Problematika yang terjadi di negara ini tidak terlepas dari praktik politik demagogi oleh para elite politik dan pemerintah. Demagog, yang berasal dari bahasa Yunani, berarti "rakyat" (demos) dan "pemimpin" (egos). Seharusnya rakyat dan pemimpin harus bekerja bersama, namun kebijakan yang tidak sejalan dengan kehendak rakyat seringkali dipropagandakan oleh pemimpin demi meraih kekuasaan. Seorang pemimpin yang seharusnya mendukung perjuangan rakyat kecil malah memanfaatkan ketakutan dan fanatisme mereka untuk mencapai tujuan pribadi.
Menurut buku Demagog karya Larry Tye, pemimpin demagog akan mengalihkan kritik kepada pengkritiknya. Jika kritik tersebut tidak terbukti, mereka akan menciptakan isu baru dan menyalahkan media sebagai penyebar hoaks.
Berbohong, menipu, dan mengkambinghitamkan pihak lain adalah ciri khas para demagog. Mereka memperoleh kekuasaan dengan menggiring opini rakyat yang sudah terlanjur terlena oleh fanatisme, sehingga tidak melihat keburukan dari tindakan mereka. Mereka juga sering menggunakan taktik ilegal untuk mencapai tujuan. Contoh pemimpin demagog yang terkenal adalah Adolf Hitler di Jerman, dan bisa jadi kita menyamakan hal ini dengan para pemimpin di Indonesia seperti Jokowi dan Prabowo.
Pemimpin yang demagog dan kebijakan yang ugal-ugalan adalah musuh bersama kita, yang saya sebut sebagai hostis—musuh publik, bukan musuh pribadi. Hostis berasal dari bahasa Latin yang berarti "musuh," yang dulunya merujuk pada musuh pribadi, kini berubah menjadi musuh publik. Kita tidak seharusnya melihat Prabowo sebagai pribadi (mantan Kopassus atau keluarga Soeharto), tetapi sebagai Presiden yang kebijakannya berdampak pada publik. Kebijakan selama seratus hari kerja yang dinilai tidak sesuai harapan rakyat merupakan contoh nyata dari kegagalan ini.
Maka dari itu, mahasiswa jangan takut bersuara demi kemaslahatan rakyat yang dikorbankan oleh para elite politik dan pemimpin yang doyan dengan janji palsu. Kritik terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat adalah bagian dari jihad amar makruf nahi mungkar.
Sekian, semoga bermanfaat.
Oleh: Sahib Munawar, S.Pd, I.M.Pd
Rabu, 19 Februari 2025.
0Komentar